Kamis, 02 Juli 2015

TAHAPAN PENGADOPSIAN IFRS DI INDONESIA

Globalisasi telah menjadikan dunia seakan-akan tanpa batas. Akses informasi dari satu negara ke negara yang lainnya dapat dilakukan dalam hitungan menit bahkan detik. Hal ini memungkinkan komunikasi yang intens diantara penduduk dunia (Global Citizen). Salah satu konsekuensi dari interaksi transnasional ini adalah diperlukannya suatu standarnisasi atau aturan umum yang dapat dipakai/dipraktekkan di seluruh dunia. Akuntansi tidak terlepas dari efek globalisasi. Serangkaian gerakan yang dimulai sejak 1973 telah dilakukan oleh International Accounting Standard Committee (IASC). IASC yang pada tahun 2001 berubah menjadi International Accounting Standard Board (IASB) bertujuan untuk mengembangkan suatu standar akuntansi yang berkualitas tinggi, dapat dipahami, dan diterapkan secara global diseluruh dunia.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi yang berwenang dalam membuat standar akuntansi di indonesia telah melakukan langkah-langkah penyeragaman standar akuntansi keuangan. Sejak tahun 1994 IAI telah melaksanakan program harmonisasi dan adaptasi standar akuntansi internasional dalam rangka pengembangan standard akuntansinya (SAK 2009). Berdasarkan data perbandingan yang dilakukan oleh Osman Ramli Satrio dan Rekan terhadap PSAK per 1 Januari 2007 dan standar akuntansi internasional (IFRS dan US GAAP) diperoleh data bahwa dari 57 PSAK yang ada sebanyak 28 PSAK dikembangkan dari IFRS dan 20 PSAK dikembangkan dari US. GAAP sementara 8 PSAK dikembangkan sendiri oleh IAI. Lebih lanjut 1 PSAK mengenai syariah dikembangkan dari standard akuntansi yang dibuat oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan regulasi lokal yang relevan.
IAI pada Desember 2008 telah mengumumkan rencana konvergensi standar akuntansi lokalnya yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) yang merupakan produk dari IASB. Rencana pengkonvergensian ini direncanakan akan terealisasi pada tahun 2012.
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi). Pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi, persyaratan akan item-item pengungkapan akan semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan lebih dapat diperbandingkan dan menghasilkan informasi yang valid untuk aktiva, hutang, ekuitas, pendapatan dan beban perusahaan.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mencanangkan bahwa Standar akuntansi internasional (IFRS) akan mulai berlaku di Indonesia pada tahun 2012 secara keseluruhan atau full adoption (sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2009). Pada tahun 2012 tersebut diharapkan Indonesia sudah mengadopsi keseluruhan IFRS, sedangkan khusus untuk perbankan diharapkan tahun 2010. Jika dikaitkan dengan IFRS maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS.
Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain.
Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara -negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara – negara berkembang seperti Indonesia.
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1.      Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku. Pada 2009 proses adopsi IFRS/ IAS mencakup :

1. IFRS 2 Share-based payment
2. IFRS 3 Business combination
3. IFRS 4 Insurance contracts
4. IFRS 5 Non-current assets held for sale and discontinued operations
5. IFRS 6 Exploration for and evaluation of mineral resources
6. IFRS 7 Financial instruments: disclosures
7. IFRS 8 Segment reporting
8. IAS 1 Presentation of financial statements
9.  IAS 8 Accounting policies, changes in accounting estimates
10. IAS 12 Income taxes
11. IAS 21 The effects of changes in foreign exchange rates
12. IAS 26 Accounting and reporting by retirement benefit plans
13. IAS 27 Consolidated and separate financial statements
14. IAS 28 Investments in associates
15. IAS 31 Interests in joint ventures
16. IAS 36 Impairment of assets
17. IAS 37 Provisions, contingent liabilities and contingent assets
18. IAS 38 Intangible assets


            Pada 2010 adopsi IFRS/ IAS mencakup :
1. IFRS 7 Statement of Cash Flows
2. IFRS20 Accounting for Government Grants and Disclosure of Government Assistance
3. IFRS24 Related Party Disclosures
4. IFRS29 Financial Reporting in Hyperinflationary Economies
5. IFRS33 Earnings per Share
6. IFRS34 Interim Financial Reporting
7. IFRS41 Agriculture
Sedangkan arah pengembangan konvergensi IFRS meliputi :
1. PSAK yang sama dengan IFRS akan direvisi, atau akan diterbitkan PSAK yang baru
2. PSAK yang tidak diatur dalam IFRS, maka akan dikembangkan
3.PSAK industri khusus akan dihapuskan
4. PSAK turunan dari UU tetap dipertahankan

2. Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3. Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.
Tujuan IFRS
Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan keuangan dan laporan keuangan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksud dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas:
1)  Transparan bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan.
2)   Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS.
3)   Dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna.
International Financial Reporting Standards (IFRS) dijadikan sebagai referensi utama pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia karena IFRS merupakan standar yang sangat kokoh. Penyusunannya didukung oleh para ahli dan dewan konsultatif internasional dari seluruh penjuru dunia. Mereka menyediakan waktu cukup dan didukung dengan masukan literatur dari ratusan orang dari berbagai displin ilmu di seluruh dunia. Dengan telah dideklarasikannya program konvergensi terhadap IFRS ini, maka pada tahun 2012 seluruh standar yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI akan mengacu kepada IFRS dan diterapkan oleh entitas. Secara keseluruhan IFRS mencakup:International Financial Reporting Standard (IFRS).Standar yang diterbitkan setelah tahun 2001. International Accounting Standard (IAS). Standar yang diterbitkan sebelum tahun 2001. Interpretations yang diterbitkan oleh International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) setelah tahun 2001. Interpretations yang diterbitkan oleh Standing Interpretations Committee (SIC) sebelum tahun 2001.
Susunan  IFRS
Susunan IFRS meliputi :
1. Penyajian laporan keuangan
2. Pengakuan pendapatan
3. Biaya penggajian
4. Biaya pinjaman
5. Pajak penghasilan
6. Investasi pada perusahaan asosiasi
7. Persediaan
8.  Aktiva tetap
9.  Aktiva tidak berwujud
10.Sewa
11. Pensiun
12. Penggabungan usaha
13. Kurs valuta asing
14. Operasi segmen
15.  Kejadian setelah tanggal neraca
Manfaat Penerapan IFRS
Meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK) Mengurangi biaya SAKMeningkatkan kredibilitas pelaporan keuangan Meningkatkan komparabilitas pelaporan Keuangan Meningkatkan transparansi keuangan Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang pengjimpun dana melalui pasar modal Meningkatkan efisiensi penyusun laporan keuangan.
Konsep Pokok IFRS :
1. Tanggal pelaporan (reporting date) adalah tanggal neraca untuk laporan keuangan pertama yang secara eksplisit menyatakan bahwa laporan keuangan tersebut sesuai dengan IFRS (sebagai contoh 31 Desember 2006).
2. Tanggal transisi (transition date) adalah tanggal neraca awal untuk laporan keuangan komparatif tahun sebelumnya (sebagai contoh 1 Januari 2005, jika tanggal pelaporan adalah31 Desember 2006).
Pengecualian untuk penerapan retrospektif IFRS terkait dengan hal-hal  berikut:
1. Penggabungan usaha sebelum tanggal transisi
2. Nilai wajar jumlah penilaiankembali yang dapat dianggap sebagai nilai terpilih

Sumber:



SEJARAH STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DI INDONESIA

Semakin banyaknya perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut. Standar akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah suatu kerangka dalam prosedur pembuatan laporan keuangan agar terjadi keseragaman dalam penyajian laporan keuangan. Standar  Akuntansi Keuangan (SAK) merupakan hasil perumusan Komite Prinsipil Akuntansi Indonesia pada tahun 1994 menggantikan Prinsip Akuntansi Indonesia tahun 1984. SAK di Indonesia merupakan terapan dari beberapa standar akuntansi yang ada seperti IAS, IFRS, ETAP, GAAP. Selain itu ada juga PSAK Syariah dan juga SAP. Selain itu untuk keseragaman laporan keuangan, standar akuntansi juga diperlukan untuk memudahkan penyusunan laporan keuangan, memudahkan auditor serta memudahkan pembaca laporan keuangan untuk menginterpretasikan dan membandingkan laporan keuangan entitas yang berbeda. Di Indonesia SAK yang diterapkan akan berdasarkan IFRS.
Terkait hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam hal-hal yang memengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan. Hal ini dapat dilihat dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini.
Berikut adalah perkembangan standar akuntansi Indonesia mulai dari awal sampai dengan saat ini yang menuju konvergensi dengan IFRS:
1. Zaman Belanda.
Indonesia selama dalam penjajahan Belanda, tidak ada standar Akuntansi yang dipakai. Indonesia memakai standar (Sound Business Practices) gaya Belanda.
2. Tahun 1945 – 1955.
Indonesia sudah mempunyai undang – undang resmi / peraturan tentang standar keuangan.
3.Tahun 1974.
Indonesia mengikuti standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan prinsip Akuntansi. Menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI berhasil melakukan modifikasi prinsip dan standar akuntansiyang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).” pada tahun 1973.
4.Tahun 1984 .
Prinsip Akuntansi di Indonesia ditetapkan menjadi standar Akuntansi. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha.
5. Akhir Tahun 1984.
Standar Akuntansi di Indonesia mengikuti standar yang bersumber dari IASC (International Accounting Standart Committee).
6. Tahun 1994.
IAI sudah committed mengikuti IASC / IFRS. Tahun 1994, setelah berlangsung selama 10 tahun IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” IAI mengadopsi pernyataan International Accounting Standard Committee (IASC) sebagai dasar acuan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
7.Tahun 2008.
Pada tahun 2008 ini, SAK mengacu pada IFRS. Diharapkan perbedaan PSAK dengan IFRS akan dapat diselesaikan.
8.Tahun 2012.
Pada tahun 2012, IFRS sudah diterapkan seluruhnya.
Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia.
Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).”
Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha.
Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi, kemudian menjadi adopsi dalam rangka konvergensi dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam perkembangannya, standar akuntansi keuangan terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan enam kali, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, dan 1 September 2007. Buku ”Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007” ini di dalamnya sudah bertambah dibandingkan revisi sebelumnya yaitu tambahan KDPPLK Syariah, 6 PSAK baru, dan 5 PSAK revisi. Secara garis besar, sekarang ini terdapat 2 KDPPLK, 62 PSAK, dan 7 ISAK.
Untuk dapat menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baik, maka badan penyusunnya terus dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Awalnya, cikal bakal badan penyusun standar akuntansi adalah Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur dari GAAP dan GAAS yang dibentuk pada tahun 1973. Pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang bertugas menyusun dan mengembangkan standar akuntansi keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang terus diperbarui. Selanjutnya, pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK). Kemudian, pada Kongres VIII IAI tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah kembali menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK dan ISAK. Selain itu, juga telah dibentuk Komite Akuntansi Syariah (KAS) dan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK). Komite Akuntansi Syariah (KAS) dibentuk tanggal 18 Oktober 2005 untuk menopang kelancaran kegiatan penyusunan PSAK yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi syariah yang dilakukan oleh DSAK. Sedangkan DKSAK yang anggotanya terdiri atas profesi akuntan dan luar profesi akuntan, yang mewakili para pengguna, merupakan mitra DSAK dalam merumuskan arah dan pengembangan SAK di Indonesia.

Due Process Prosedur Penyusunan SAK
1)      Due Process Prosedur penyusunan SAK sebagai berikut :
a.       Identifikasi issue untuk dikembangkan menjadi standar;
b.      Konsultasikan issue dengan DKSAK;
c.       Membentuk tim kecil dalam DSAK;
d.      Melakukan riset terbatas;
e.       Melakukan penulisan awal draft;
f.       Pembahasan dalam komite khusus pengembangan standar yang dibentuk DSAK;
g.      Pembahasan dalam DSAK;
h.      Penyampaian Exposure Draft kepada DKSAK untuk meminta pendapat dan pertimbangan dampak penerapan standar;
i.        Peluncuran draft sebagai Exposure Draft dan pendistribusiannya;
j.        Public hearing;
k.      Pembahasan tanggapan atas Exposure Draft dan masukan Public Hearing;
l.        Limited hearing
m.    Persetujuan Exposure Draft PSAK menjadi PSAK;
n.      Pengecekan akhir;
o.      Sosialisasi standar.
2)  Due Process Procedure penyusunan Interpretasi SAK, Panduan Implementasi SAK dan Buletin Teknis tidak wajib mengikuti keseluruhan tahapan due process yang diatur dalam ayat 1 diatas, misalnya proses public hearing.
3)   Due Process Procedure untuk pencabutan standar atau interpretasi standar yang sudah tidak relevan adalah sama dengan due process procedures penyusunan standar yang diatur dalam ayat 1 diatas tanpa perlu mengikuti tahapan due proses e, f, i, j, dan k sedangkan tahapan m dalam ayat 1 diatas diganti menjadi: Persetujuan pencabutan standar atau interpretasi.
Sumber :


Rabu, 06 Mei 2015

BRANCHLESS BANGKING GLOBAL VS REGIONAL

Branchless Banking (BB) merupakan pemanfaatan agen maupun teknologi informasi dan komunikasi untuk penyediaan jasa layanan keuangan perbankan. Berdasarkan survey dari US Census Bureau, pengguna ponsel aktif di Indonesia berjumlah sekitar 281 juta pengguna atau lebih besar dari populasi Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta orang. Bandingkan dengan jumlah penduduk yang memiliki rekening aktif di bank berdasarkan survey Bank Dunia yang hanya di kisaran 20% dari populasi diatas 15 tahun.
Selain itu, berdasarkan survey Nielsen tahun 2013, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang dengan penetrasi smartphone terbesar yakni mencapai 23% atau tumbuh 2 kali lipat dari tahun sebelumnya yang hanya di level 12%. Angka penetrasi tersebut unggul dibandingkan dengan India yang hanya mencapai 18% dan Filipina sebesar 15%. Walaupun masih dibawah Malaysia yang mencapai 80%, Thailand 49%, dan China 71%, pertumbuhan penetrasi ponsel pintar di Indonesia Indonesia tergolong cepat, bahkan survey Frost & Sullivan memproyeksi penetrasi ponsel pintar akan menjadi 50% pada tahun 2015.
Kondisi tingginya penetrasi ponsel di Indonesia tersebut dan ditunjang dengan potensi penghasilan masyarakat yang cukup baik merupakan prospek bagi peningkatan keuangan inklusif melalui branchless banking.
Apalagi dari sisi perbankan sendiri, penyediaan layanan jasa perbankan dengan branchless banking dapat menghemat biaya yang cukup besar misalnya dapat mengurangi biaya pembukaan kantor cabang yang menurut Dirut Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, bisa menghabiskan biaya setidaknya Rp 1 miliar, dan juga masih lebih murah lagi dari membangun ATM yang investasinya dibutuhkan setidaknya Rp60 juta per ATM.
Bagaimana model bisnis branchless banking ?
Pada umumnya model bisnis dari branchless banking yakni adanya peran agen/pihak ketiga yang merupakan kepanjangan tangan dari penyedia jasa keuangan. Peran dari agen ini bisa berupa perorangan atau perusahaan. Secara nyatanya peran agen di daerah-daerah terpencil bisa berupa warung kecil, warung kopi, kantor pos, atau lainnya. Jadi seseorang yang belum berbank jika ingin membuka rekening tabungan cukup mendaftarkan diri ke agen tersebut. Pada saat mendaftar, calon nasabah juga sekaligus mendaftar nomor ponselnya sebagai layanan mobile banking dan electronic money. Tentu agen-agen yang ditunjuk telah menjalani proses seleksi yang pruden. 
BB sebagai salah satu bentuk inisiatif financial inclusion  sangat membantu untuk memajukan  perekonomian suatu negara melalui peningkatan akses masyarakat terhadap jasa layanan bank sehingga ultimate goal bank sebagai unit usaha pembiayaan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Studi-studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, swasta, asosiasi, perusahaan keuangan maupun lembaga donor menyimpulkan beberapa hal kenapa perlunya BB. Berikut kami sampaikan kenapa BB :
1. Seperti halnya dinegara negara berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan kurang sekali. Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar 49% dari populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah dari Indonesia.
2. Pembukaan kantor bank yang memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal.  Sebagai gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5 milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor.
3. Konsentrasi lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan merupakan area yang padat aktifitas ekonomi, berkembang sehingga secara ekonomis bank melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut menguntungkan.
4. Persepsi masyarakat bawah terhadap layanan bank. Mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial service) yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi dan perorangan. Persepsi yang mereka miliki bahwa :


a. Berhubungan dengan bank harus punya uang banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit
b. Harus meluangkan waktu khusus ke bank karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari
c. Prosedur berhubungan dengan bank berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti
d. Harus antre untuk  bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan sederhana seperti setor atrau tarik dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000,--
e. Biaya transaksi yang mahal, misalnya kirim uang kena biaya Rp. 25.000,--
f. Produk atau layanan bank tidak dirancang untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap
g. Ada kecenderungan diskriminasi dalam pelayanan terhadap mereka, menganggap mereka tidak punya uang sehingga layanan yang diterima berbeda.
5. Potensi besar segmen bawah yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi sebagian besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai. Berdasarkan data kurang lebih sebesar Rp. 300 triliun uang tunai ditransaksikan lewat segment ini. Apabila jumlah tersebut masuk ke sistem perbankan dan disalurkan bank kembali dalam bentuk kredit ke meraka, tentunya akan menjadi stimulus penggerak perekonomian yang sangat besar. Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh BI pun akan dapat ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui branchless banking.
6. Kemajuan teknologi khusus dalam berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler, menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan memanfatkan keunggulan - keunggulan yang dimiliki perusahaan telco.


Hal-hal tersebut diatas, mengkondisikan perlunya BB dan saat ini sedang berkembang di negara-negara Asia Pasific, Africa dan Amerika Latin. Asia merupakan emerging market termasuk Indonesia yang baru mulai memasuki era ini, meskipun aturan terkait penerapannya masih dalam persiapan oleh BI.
Demikian hal-hal terkait kenapa perlunya branchless banking.

PERKEMBNAGAN
Layanan lembaga keuangan formal seperti perbankan di negara-negara berkembang hanya dapat menjangkau sebagian kecil warga negara sehingga berbagai otoritas keuangan menggalakkan program inklusi finansial.
Masyarakat bawah enggan berhubungan dengan bank misalnya karena mereka sudah membayangkan mahalnya berurusan dengan bank. Sementara bank juga menilai melayani masyarakat bawah membutuhkan biaya yang lebih besar.
        Namun lembaga keuangan memegang peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sehingga upaya menjangkau masyarakat bawah tetap harus dilakukan. Bahkan lembaga konsultan Economic Develoment Service (EDS) menilai lembaga keuangan berperan dalam upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia.
        "Sekitar 80 persen dari jumlah penduduk miskin Indonesia tidak mempunyai akses kepada lembaga keuangan formal," kata Direktur Pelaksana EDS Peter Van Dierman.
        Menurut dia, pembiayaan dari lembaga keuangan yaitu bank hanya mencakup 17 persen dari total penduduk Indonesia sementara jumlah penduduk yang memiliki akses kepada lembaga keuangan mikro hanya mencakup 10 persen.
        "Dengan kondisi seperti ini maka upaya perluasan akses terhadap lembaga keuangan oleh masyarakat lapisan bawah (inklusi finansial) menjadi sangat penting," kata Peter yang juga Ketua Penasihat Tim Nasional Percepatan Pengurangan Kemiskinan (TNP2K).
        Ia menyebutkan untuk dapat meningkatkan inklusi keuangan, produk lembaga keuangan untuk tabungan harus yang berbasis biaya rendah, pembiayaan harus diarahkan untu usaha kecil dan menengah, produk asuransi yang mengurangi risiko dan mengurangi kerentanan warga miskin dan perlunya pendidikan serta sosialisasi kepada masyarakat.

        Peter menilai inisiatif yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan sudah sesuai dengan upaya mengurangi kemiskinan.
        Inisiatif itu antara lain program pendidikan keuangan (Ayo ke Bank), promosi produk tabungan dengan biaya rendah (Tabunganku), peningkatan kapasitas bank pembiayaan/perkreditan rakyat, program kemitraan, penyusunan database UKM, proyek percontohan dan panduan pelaksanaan "branchless banking" (bank tanpa kantor cabang".
        Berdasarkan data Kemensos pada Februari 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia sudah berkurang 540 ribu dari total 29 juta penduduk miskin pada tahun 2012.
        Rendahnya keterjangkauan masyarakat atas layanan lembaga keuangan juga dihadapi Pakistan pada tahun 2008. Pada 2008 jumlah penduduk dewasa (lebih dari 15 tahun) Pakistan mencapai 120 juta jiwa di mana sebanyak 60 persen tinggal di pedesaan dan 40 persen tinggal di perkotaan. Sementara jumlah kantor cabang bank mencapai 11.000 di mana 30 persen di pedesaan dan 70 persen di perkotaan.
        "Total rekening bank hanya mencapai 35,5 juta atau hanya 12 persen dari total jumlah penduduk dewasa, artinya 88 persen penduduk tidak punya akses kepada lembaga keuangan formal," kata Direktur Eksekutif Kebijakan dan Regulasi Perbankan State Bank of Pakistan, Muhammad Ashraf Khan.
        Namun pada tahun 2008 Bank Sentral Pakistan itu mulai menerapkan konsep "branchless banking" sehingga keterjangkauan lembaga keuangan terhadap masyarakat bawah meningkat. "Bank sentral (Pakistan) mengenalkan peraturan tentang bank tanpa kantor cabang pada Maret 2008," kata  Ashraf Khan.
        Ia menyebutkan penerapan konsep bank tanpa kantor itu merupakan upaya bank sentral agar masyarakat khususnya lapisan bawah memiliki akses kepada lembaga keuangan. Ashraf menyebutkan bank sentral Pakistan itu melakukan revisi mengenai peraturan bank tanpa kantor cabang itu pada Juni 2011.


        Dia menyebutkan, selama kuartal IV 2012, jumlah rekening di bank tanpa kantor cabang mencapai 2,1 juta, jumlah agen 41.567, jumlah dana mencapai 10 juta dolar AS, jumlah transaksi mencapai 35,3 juta, nilai transaksi mencapai 1,5 miliar dolar AS, rata-rata transaksi per hari 392.433 dolar AS.
                       Proyek Percontohan

            Sementara BI meluncurkan proyek percontohan perbankan tanpa kantor cabang di delapan provinsi pada pertengahan Mei 2013. Proyek percontohan itu mengikutsertakan lima bank dan perusahaan telekomunikasi.   
   "Kita harus memulai percontohan 'branchless banking' ini supaya teruji aman, handal, dan murah. Jika berhasil, baru kita laksanakan secara nasional," kata Gubernur BI yang ketika itu masih dijabat Darmin Nasution.
        Pelaksanaan uji coba itu akan berlangsung Mei-November 2013. Pelaksanaan uji coba perbankan tanpa kantor cabag dilaksanakan di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Adapun lima bank yang mengikuti program itu adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), CIMB Niaga, dan Bank Sinar Harapan Bali. Sedangkan tiga perusahaan telekomunikasi yang ikut yaitu Telkomsel, XL, dan Indosat.
        Program percontohan perbankan tanpa kantor cabang itu diharapkan dapat menjadi pondasi dalam proses perluasan akses khususnya bagi masyarakat pedesaan kepada lembaga keuangan formal.
        Pemberian layanan perbankan tanpa kantor cabang tidak dilakukan melalui kantor fisik bank atau perusahaan telekomunikasi, namun menggunakan sarana teknologi dan jasa pihak ketiga atau agen yang disebut unit perantara layanan keuangan (UPLK) dan juga melalui tempat penguangan tunai (TPT). BI menuangkan aturan percontohan bank tanpa kantor dalam Pedoman Uji Coba Layanan Branchless Banking' pada 30 April 2013.


        Sementara itu Wakil Direktur Utama BTPN Djemi Suhendra mengatakan inisiatif "branchless banking" dari BI merupakan terobosan revolusioner dalam industri perbankan.
        Inisiatif itu diharapkan dapat membuka akses layanan bank bagi mayoritas penduduk Indonesia seperti petani, nelayan, buruh pabrik, pekerja informal, yang selama ini tidak mempunyai akses ke layanan perbankan secara lebih cepat.
        BTPN melaksanakan uji coba perbankan tanpa kantor cabang sejak Mei hingga November 2013. Uji coba dilaksanakan di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Bali. Di Jawa Barat, uji coba dilakukan di Kabupaten Bogor dengan mengambil tiga kecamatan yaitu Darmaga, Ciampea dan Cibungbulan. Tiga kecamatan itu dipilih karena di daerah tersebut terdapat banyak nasabah prasejahtera, nasabah mikro, pekerja informal dan mahasiswa.
        Sementara itu untuk mendukung layanan branchless banking itu, BTPN membuka produk btpn WOW yaitu layanan perbankan melalui telepon selular (ponsel) dengan biaya murah yang dapat diakses dengan ponsel termurah dan di area yang minim sinyal.
        Selama masa uji coba "agent banking" hingga November 2013, akses layanan bank melalui agen masih akan terbatas. Namun setelah itu peran agen (sebagai perpanjangan tangan bank) untuk memperluas jangkauan layanan kepada nasabah akan menjadi sangat penting.
        Sementara itu BRI yang juga ikut dalam proyek percontohan itu meluncurkan layanan T-Bank yaitu transaksi melalui nomor ponsel tanpa harus ke kantor bank.
        "T-Bank merupakan sistem penyedia transaksi keuangan berbasis 'e-money server based' menggunakan nomor ponsel sebagai nomor rekening tanpa harus ke bank tapi menggunakan konsep keagenan," kata Direktur Konsumer BRI A Toni Soetirto.
        Guna memastikan layanan tersebut beroperasi optimal dan berkualitas, BRI menggandeng operator telekomunikasi selular, Telkomsel. Saat ini, nomor ponsel yang dapat didaftarkan sebagai rekening T-Bank BRI adalah Telkomsel namun nantinya akan dikembangkan pada operator lain.

        Sekretaris Perusahaan BRI Muhammad Ali mengatakan T-Bank merupakan bagian dari komitmen BRI sebagai salah satu bank peserta uji coba layanan "branchless banking" yang diluncurkan BI pada 15 Mei 2013.
        "Program inklusi finansial merupakan salah satu kebijakan pemerintah dan BI untuk menyediakan akses keuangan yang mudah dan murah bagi 'unbankable people' yang dibangun melalui kolaborasi bank dan telco," tuturnya.
        Dalam rangka uji coba "branchless banking" implementasi T-Bank dilaksanakan terbatas di dua provinsi yaitu di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan Kabupaten Bayuwangi, Jawa Timur.
        "Jumlah agen yang diikutsertakan dalam uji coba berjumlah 14 agen yang merupakan nasabah individual Kupedes BRI, mitra "payment point" BRI dan Plasa Telkom dalam rangka sinergi BUMN," kata Muhammad Ali.

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/10/30/branchless-banking-lebih-dari-sekedar-jargon-marketing-683535.html
http://branchlessbkg.blogspot.com/


Jumat, 10 April 2015


PERKEMBANGAN AKUNTANSI INTERNASIONAL

Pengertian Akuntansi Internasional
Akuntansi internasional adalah akuntansi untuk transaksi internasional, perbandingan prinsip akuntansi antar negara yang berbeda dan harmonisasi berbagai standar akuntansi dalam bidang kewenangan pajak, auditing dan bidang akuntansi lainnya. Akuntansi harus berkembang agar mampu memberikan informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan di perusahaan pada setiap perubahan lingkungan bisnis. Di dalam Akuntansi Internasional terdapat beberapa karakteristik era ekonomi global, antara lain:
1. Bisnis internasional.
2. Hilangnya batasan-batasan antar negara era ekonomi global sering sulit untuk mengindentifikasi Negara asal suatu produk atau perusahaan, hal ini terjadi pada perusahaan multinasional.
3. Ketergantungan pada perdagangan internasional.

Sejarah dan Perkembangan Akuntansi Internasional
Perkembangan Akuntansi dari Sistem Pembukuan Berpasangan
Pada awalnya, pencatatan transaksi perdagangan dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dicatat pada batu, kulit kayu, dan sebagainya. Catatan tertua yang berhasil ditemukan sampai saat ini masih tersimpan, yaitu berasal dari Babilonia pada 3600 sebelum masehi. Penemuan yang sama juga diperoleh di Mesir dan Yonani kuno. Pencatatan itu belum dilakukan secara sistematis dan sering tidak lengkap. Pencatatan yang lebih lengkap dikembangkan di Italia setelah dikenal angka-angka desimal arab dan semakin berkembangnya dunia usaha pada waktu itu. Perkembangan akuntansi terjadi bersamaan dengan ditemukannya sistem pembukuan berpasangan (double entry system) oleh pedagang- pedagang Venesia yang merupakan kota dagang yang terkenal di Italia pada masa itu. Dengan dikenalnya sistem pembukuan berpasangan tersebut, pada tahun 1494 telah diterbitkan sebuah buku tentang pelajaran penbukuan berpasangan yang ditulis oleh seorang pemuka agama dan ahli matematika bernama Luca Paciolo dengan judul Summa de Arithmatica, Geometrica, Proportioni et Proportionalita yang berisi tentang palajaran ilmu pasti. Namun, di dalam buku itu terdapat beberapa bagian yang berisi palajaran pembukuan untuk para pengusaha. Bagian yang berisi pelajaran pembukuan itu berjudul Tractatus de Computis et Scriptorio. Buku tersebut kemudian tersebar di Eropa Barat dan selanjutnya dikembangkan oleh para pengarang berikutnya. Sistem pembukuan berpasangan tersebut selanjutnya berkembang dengan sistem yang menyebut asal negaranya, misalnya sistem Belanda, sistem Inggris, dan sistem Amerika Serikat. Sistem Belanda atau tata buku disebut juga sistem Kontinental. Sistem Inggris dan Amerika Serikat disebut Sistem Anglo-Saxon2.
Perkembangan Akuntansi dari Sistem Kontinental ke Anglo-Saxon
Pada abad pertengahan, pusat perdagangan pindah dari Venesia ke Eropa Barat. Eropa Barat, terutama Inggris menjadi pusat perdagangan pada masa revolusi industri. Pada waktu itu pula akuntansi mulai berkembang dengan pesat. Pada akhir abad ke-19, sistem pembukuan berpasangan berkembang di Amerika Serikat yang disebut accounting (akuntansi). Sejalan dengan perkembangan teknologi di negara itu, sekitar pertengahan abad ke-20 telah dipergunakan komputer untuk pengolahan data akuntansi sehingga praktik pembukuan berpasangan dapat diselesaikan dengan lebih baik dan efisien. Pada Zaman penjajahan Belanda, perusahaan- perusahaan di Indonesia menggunakan tata buku. Akuntansi tidak sama dengan tata buku walaupun asalnya sama-sama dari pembukuan berpasangan. Akuntansi sangat luas ruang lingkupnya, diantaranya teknik pembukuan. Setelah tahun 1960, akuntansi cara Amerika (Anglo-Saxon) mulai diperkenalkan di Indonesia. Jadi, sistem pembukuan yang dipakai di Indonesia berubah dari sistem Eropa (Kontinental) ke sistem Amerika (Anglo-Saxon).

Sudut Pandang Sejarah
Beberapa waktu yang lalu, akuntansi memperlihatkan kemampuannya untuk menarik perhatian publik melalui akuntansi dan pengukuran sumber daya manusia, pelaporan dan audit atas tanggungjawab sosial berbagai organisasi. Saat ini akuntansi beroperasi antara lain dalam lingkungan perilaku, sektor publik dan Internasional. Akuntansi menyediakan informasi bagi pasar modal-pasar modal besar, baik domestik maupun internasional. Akuntansi telah meluas ke dalam area konsultasi manajemen dan melibatkan lebih besar porsi teknologi informasi dalam sistem dan prosedurnya. Dengan demikian akuntansi jelas tanggap terhadap stimulus lingkungan. Ada tiga kekuatan utama yang mendorong bidang akuntansi internasional ke dalam dimensi internasional yang terus tumbuh, yaitu:
1. Faktor lingkungan,
2  Internasionalisasi dari disiplin akuntansi, dan
3. Internasionalisasi dari profesi akuntansi.
Ketiga faktor tersebut dalam perjalanan/perkembangan akuntansi sangat berperan dan menentukan arah dari teori akuntansi yang selama bertahun-tahun dan dekade banyak para ahli mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mengembangkan teori akuntansi dan ternyata mengalami kegagalan dan hal tersebut menyebabkan terjadinya evolusi dari ”theorizing” ke “conceptualizing”.


Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan akuntansi internasional
Ada 8 delapan faktor yang mempengaruhi perkembangan akuntansi internasional, yaitu:
1. Sumber pendanaan.
Di Negara-negara dengan pasar ekuitas yang kuat, akuntansi memiliki focus atas seberapa baik manajemen menjalankan perusahaan (profitabilitas), dan dirancang untuk membantu investor menganalisis arus kas masa depan dan resiko terkait. Sebaliknya, dalam sistem berbasis kredit di mana bank merupakan sumber utama pendanaan, akuntansi memiliki fokus atas perlindungan kreditor melalui pengukuran akuntansi yang konservatif.
2. Sistem Hukum.
Dunia barat memiliki dua orientasi dasar: hukum kode (sipil) dan hukum umum (kasus). Dalam negara-negara hukum kode, hukum merupakan satu kelompok lengkap yang mencakup ketentuan dan prosedur sehingga aturan akuntansi digabungkan dalam hukum nasional dan cenderung sangat lengkap. Sebaliknya, hukum umum berkembang atas dasar kasus per kasus tanpa adanya usaha untuk mencakup seluruh kasus dalam kode yang lengkap.


3. Perpajakan.
Di kebanyakan negara, peraturan pajak secara efektif menentukan standar karena perusahaan harus mencatat pendapatan dan beban dalam akun mereka untuk mengklaimnya untuk keperluan pajak. Ketika akuntansi keuangan dan pajak terpisah, kadang-kadang aturan pajak mengharuskan penerapan prinsip akuntansi tertentu.
4. Ikatan Politik dan Ekonomi.
Banyak Negara berkembang yang menerapkan system akuntansi yang dikembangkan oleh bangsa lain, entah karena paksaan ataupun karena keinginan sendiri. Seperti contoh sistem pencatatan double entry yang berawal di italia kemudian menyebar di Eropa; Inggris mengekspor akuntan dan konsep akuntansi di seluruh wilayah kekuasaannya; pendudukan jerman pada saat PD II menyebabkan Perancis menerapkan plan comptable. USA memaksa rezim pengatur akuntansi bergaya USA di Jepang pada saat PD II.
5. Inflasi.
Inflasi menyebabkan distorsi terhadap akuntansi biaya histories dan mempengaruhi kecenderungan (tendensi) suatu Negara untuk menerapkan perubahan terhadap akun-akun perusahaan.
6. Tingkat Perkembangan Ekonomi.
Faktor ini mempengaruhi jenis transaksi usaha yang dilaksanakan dalam suatu perekonomian dan menentukan manakah yang paling utama.

7. Tingkat Pendidikan.
Standar praktik akuntansi yang sangat rumit akan menjadi tidak berguna jika disalahartikan dan disalahgunakan. Pengungkapan mengenai resiko efek derivative tidak akan informative kecuali jika dibaca oleh pihak yang berkompeten.
8. Budaya.
Budaya berarti nilai-nilai dan perilaku yang dibagi oleh suatu masyarakat. Variasi budaya mendasari pengaturan kelembagaan di suatu Negara. Empat dimensi budaya nasional, menurut Hofstede adalah individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan maskulinitas, yaitu:
a. Individualisme vs kolektivisme merupakan kecenderungan terhadap suatu tatanan social yang tersusun longgar dibandingkan terhadap tatanan yang tersusun ketat dan saling tergantung.
b. Large vs Small Powr Distance (Jarak kekuasaan) adalah sejauh mana hierarki dan pembagian kekuasaan dalam suatu lembaga dan pembagian kekuasaan dalam suatu lembaga dan organisasi secara tidak adil dapat diterima.
c. Strong vs Weak Uncertainty Avoidance (Penghindaran ketidakpasian) adalah sejauh mana masyarakat merasa tidak nyaman dengan ambiguitas dan suatu masa depan yang tidak pasti.
d. Maskulinitas vs feminimitas adalah sejauh mana peranan gender dibedakan dan kinerja serta pencapaian yang dapat dilihat lebih ditekankan daripada hubungan dan perhatian.

Porsi Pengembangan Akuntansi Internasional
Secara struktural pengembangan akuntansi internasional yang terjadi sekarang meliputi porsi sebagai berikut :
1. Pola Pengembangan Komparatif.
Pendekatan yang dikembangkan oleh Mueller yang berbeda terhadap pengembangan akuntansi dapat diamati di negara-negara barat yang memiliki system ekonomi yang berorientasi pasar, meliputi; Pola makorekonomis, pola mikroekonomis, pendekatan disiplin independen, dan pendekatan akuntansi seragam.
2. Pola Makroekonomis
Tujuan perusahaan bisnis tentu saja lebih sempit daripada kebijakan ekonomi nasional. Perusahaan mempunyai tujuan tertentu yang harus dicapai, seringkali beroperasi dalam dimensi dan ruang waktu yang terbatas, dan bertanggunggugat kepada kelompok-kelompok kepemilikan yang jelas. Konsekuensinya, tujuan perusahaan secara normal mengikuti kebijakan nasional. Hal ini bukan kondisi absolut, karena perusahaan bisnis merupakan bagian dari kepntingan publik yang mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan-kebijakan nasional; jadi ada hubungan sebab-akibat timbal balik.


Klasifikasi Akuntansi Internasional
Klasifikasi akuntansi internasional dapat dilakukan dalam dua cara: dengan pertimbangan dan secara empiris. Klasifikasi dengan pertimbangan bergantung pada pengetahuan, intuisi dan pengalaman. Klasifikasi secara empiris menggunakan metode statistik untuk mengumpulkan data prinsip dan praktek akuntansi seluruh dunia.
Ada empat pendekatan terhadap perkembangan akuntansi:
1. Berdasarkan pendekatan makroekonomi, praktek akuntansi didapatkan dari dan dirancang untuk meningkatkan tujuan makroekonomi nasional.
2. Berdasarkan pendekatan mikroekonomi, akuntansi bekembang dari prinsip-prinsip mikroekonomi. Tujuannya terletak pada perusahaan secara individu yang memiliki tujuan untuk bertahan hidup.
3. Berdasarkan pendekatan independent, akuntansi berasal dari praktek bisnis dan berkembang secara ad hoc, dengan dasar perlahan-lahan dan pertimbangan, coba-coba, dan kesalahan. Akuntansi dipandang sebagai fungsi jasa yang konsep dan prinsipnya diambil dari proses bisnis yang dijalankan dan bukan dari cabang keilmuan seperti ekonomi.
4.Berdasarkan pendekatan yang seragam, akuntansi distandariasi dan digunakan sebagai alat untuk kendali administrasi oleh pemerintah pusat. Keseragaman dalam pengukuran, pengungkapan, dan penyajian akan memudahkan perancang pemerintah, otoritas pajak, dan bahkan manajer untuk menggunakan informasi akuntansi dalam mengendalikan seluruh jenis bisnis.

Akuntansi juga dapat diklasifikasikan dengan sistem hukum suatu negara:
1. Akuntansi dalam negara-negara hukum umum memiliki karakter berorientasi terhadap penyajian wajar, transparansi, dan pengungkapan penuh dan pemisahan antara akuntansi keuangan dan pajak. Pasar saham mendominasi sumber-sumber keuangan dan pelaporan keuangan ditunjukkan untuk kebutuhan infrmasi investor luar. Akuntansi hukum umum disebut sebagai Anglo-Saxon.
2.  Akuntansi dalam Negara-negara hukum kode memiliki karakteristik beorientasi legalistik, tidak membiarkan pengungkapan dalam jumlah kurang, dan kesesuaian antara ankuntansi keuangan dan pajak. Bank atau pemerintah mendominasi ksumber keuangan dan pelaporan keuangan dan pelaporan keuangan ditujukan untuk perlindungan kreditor. Akuntansi ini disebut juga continental. Pemberian karakter akuntansi memparalelkan hal yang disebut sebagai model pemegang saham dan pihak berkepentingan tata kelola perusahaan dalan Negara hukum umum dan hukum kode.

Pertumbuhan dan Penyebaran Operasi Multinasional
Bisnis internasional secara tradisional terkait dengan perdagangan luar negeri. Kegiatan ini yang berakar dari masa lampau, akan terus berlanjut.Isu akuntansi utama yang berhubungan dengan kegiatan ekspor dan impor adalah akuntansi untuk transaksi mata uang asing. Bisnis internasional saat ini semakin berhubungan dengan investasi asing langsung, yang meliputi pendirian sistem manufaktur atau distribusi dari luar negeri dengan membentuk afiliasi yang dimiliki seutuhnya, usaha patungan atau aliansi strategis. Operasi yang dilaksanakan diluar negeri membuat manager keuangan dan akuntan menghadapai resiko berupa semua jenis masalah yang tidak mereka hadapi ketika operasi perusahaan dilaksanakan didalam wilayah satu negara. Prinsip pelaporan keuangan nasional dapat berbeda secara signifikan dari suatu negara ke negara lain karena prinsip-prinsip akuntansi tersebut dibentuk oleh lingkungan sosial ekonomi yang berbeda. Selain itu terdapat pilihan kurs nilai tukar yang digunakan untuk mengkonversi akun-akun luar negeri ke dalam satu mata uang pelaporan. Manajer keuangan dan akuntan juga harus memahami pengaruh kompleksitas lingkungan pengukuran akuntansi suatu perusahaan multinasional, memahami pengaruh perubahan nilai tukar dan tingkat inflasi merupakan hal penting, memiliki pengetahuan mengenai hukum pajak dan nilai mata uang untuk usaha yang beroperasi dilebih satu negara. Faktor lain yang turut menyumbangkan semakin pentingnya akuntansi internasional adalah fenomena kompetisi global. Penentuan acuan(benchmarking), suatu tindakan untuk membandingkan kinerja satu pihak dengan suatu standar yang memadai bukan hal yang baru, tetapi standar perbandingan yang digunakan kini melampaui batas-batas nasional adalah sesuatu yang baru.

Negara yang dominan dalam perkembangan praktek akuntansi:
a. Prancis
Prancis merupakan pendukung utama akuntansi nasional di dunia. Ciri khusus akuntansi di Prancis adalah terdapatnya dikotomi antara laporan keuangan perusahaan secara tersendiri dengan laporan keuangan kelompok usaha yang dikonsolidasikan. Hukum memperbolehkan perusahaan Prancis untuk mengikuti Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) atau bahkan prinsip akuntansi yang diterima umum di AS (GAAP) dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi.
b. Jepang
Akuntansi dan pelaporan keuangan di Jepang mencerminkan gabungan berbagai pengaruh domestik dan internasional. Dua badan pemerintah yangterpisah bertanggung jawab atas regulasi akuntansi dan hukum pajakpenghasilan perusahaan di Jepang memiliki pengaruh lebih lanjut pula. Pada paruh pertama abad ke-20, pemikiran akuntansi mencerminkan pengaruh Jerman; pada paruh kedua, ide-ide dari AS yang berpengaruh. Akhir-akhir ini, pengaruh badan Badan Standar Akuntansi Internasional mulai dirasakan danpada tahun 2001 perubahan besar terjadi dengan pembentukan organisasi sektor swasta sebagai pembuat standar akuntansi. Akuntansi di Jepang sedang dibentuk ulang agar sesuai dengan IFRS.
c. Amerika Serikat
Akuntansi di Amerika Serikat diatur oleh Badan Sektor Swasta (Badan Standar Akuntansi Keuangan, atau Financial Accounting Standards Board –FSAB), namun sebuah lembaga pemerintah (Komisi Pengawas Pasar Modal atau Securities Exchange Commission – SEC) juga memiliki kekuasaan untuk menerapakan standarnya sendiri.

Faktor Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Perkembangan Akuntansi
Berikut adalah sejumlah faktor lingkungan yang memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan akuntansi, antara lain :
1. Sistem Hukum.
Kodifikasi standar-standar dan prosedur-prosedur akuntansi kelihatannya alami dan cocok dalam negara-negara yang menganut code law. Sebaliknya, pembentukan kebijakan akuntansi yang non legalistis oleh organisasi-organisasi professional yang berkecimpung dalam sektor swasta lebih sesuai dengan system yang berlaku di negara-negara hukum umum (common law). Dalam hukum perang atau situasi darurat nasonal lainnya, semua aspek fungsi akuntansi mungkin diatur oleh sejumlah pengadilan atau badan pemerintah pusat. Contohnya adalah dalam masa Nazi Jerman, ketika persiapan-persiapan perang yang intensif dan kemudian pada saat PD II memerlukan sistem akuntansi nasional yang sangat seragam untuk mengontrol semua aktivitas ekonomi nasional secara total.
2. Sistem Politik.
Sistem politik yang ada pada suatu negara pun ikut mewarnai akuntansi, karena sistem politik tersebut “mengimpor” dan “mengekspor” standar-standar dan praktik-praktik akuntansi. Sebagai contoh, akuntansi Inggris yang ada semasa pergantian Abad 20, “diekspor” ke negara-negara persemakmuran. Belanda melakukan hal yang sama ke filipina dan Indonesia, Perancis ke negara-negara jajahannya di Asia da Afrika. Jerman menggunakan simpati politik untuk mempengaruhi, antara lain, akuntansi di Jepang dan Swedia.
3. Sifat Kepemilikan Bisnis.
Kepemilikan publik yang besar atas saham-saham perusahaan menyiratkan prinsip-prinsip pelaporan dan pengungkapan akuntansi keuangan yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang kepemilikannya didominasi oleh keluarga atau bank. Misalnya, kepemilikan publik yang sangat tinggi atas saham-saham korporasi di AS telah menghasilkan apa yang dinamakan Sunshine accounting standards of wide open disclosure, sedangkan ketidakhadiran partisipasi public dalam kepemilikan saham perusahaan di Perancis telah membatasi komunikasi keuangan yang efektif hanya ke saluran komunikasi ”insider” saja. Kepemilikan Bank yang tinggi di Jerman juga menghasilkan respon akuntansi yang berbeda. Di AS, AICPA membuat rekomendasi khusus bagi standar dan praktik akuntansi keuangan tertentu yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan non publik yang lebih kecil.
4. Perbedaan Besaran dan Kompleksitas Perusahaan-Perusahaan Bisnis.
Dikotomi yang terjadi antara perusahaan besar dan kecil terus berlanjut, mulai dari masalah asuransi, hingga keseluruh hirarki perusahaan induk-anak, termasuk masalah kompleksitas. Perusahaan konglomerasi besar yang beroperasi dalam lini bisnis yang sangat beragam membutuhkan teknik-teknik pelaporan keuangan yang berbeda dengan perusahaan kecil yang menghasilkan produk tunggal. Perusahaan-perusahaan multinasional juga membuthkan system akuntansi yang berbeda dengan sistem akuntansi perusahaan-perusahaan domestik.
5. Iklim Sosial.
Iklim sosial turut memberikan sumbangan dalam pengembangan akuntansi diberbagai belahan dunia. Di Perancis, mengarah pada pelaporan tanggungjawab sosial, sebaliknya di Swiss masih sangat konservatif sehingga perusahaanperusahaan besar swiss melaporkan kondisi keuangannya yang relatif ringkas. Orang Italia masih sangat berorientasi pada pajak, bahkan di beberapa Negara Amerika bagian Timur dan Selatan, akuntansi sama dengan pembukuan dan dianggap tidak cocok secara sosial.
6. Tingkat Kompetensi Manajemen Bisnis Dan Komunitas Keuangan
Kompetensi atau kemampuan manajemen bisnis dan pengguna dari output akuntansi akan sangat menentukan perkembangan akuntansi. Karena secanggih dan sehebat apapun output akuntansi, jika manajemen bisnis dan para pengguna tidak dapat membaca, mengartikan, dan memahaminya hal tersebut tidak akan ada gunanya.
7.  Tingkat Campur Tangan Bisnis Legislatif
Regulasi mengenai perpajakan mungkin memerlukan prinsip-prinsip akuntansi tertentu. Seperti di Swedia, dimana kelonggaran pajak tertentu harus dibukukan secara akuntansi sebelum bisa diklaim bagi tujuan pajak; ini juga merupakan situasi bagi penilaian persediaan metode LIFO di AS. Hukum-hukum perlindungan sosial yang beragam juga mempengaruhi standar-standar akuntansi. Contohnya adalah kewajiban membayar pesangon dio beberapa negara Amerika Selatan.
8. Ada Legislasi Akuntansi tertentu
Dalam beberapa kasus, terdapat peraturan legislative khusus untuk aturan-aturan dan teknik-teknik akuntansi tertentu. Di AS, SEC menentukan standar-standar pengungkapan dan akuntansi bagi perusahaan-perusahaan besar, dengan mengacu pada FASB.
9. Kecepatan Inovasi Bisnis Semula, kegiatan merger dan akuisisi tidak diperhitungkan secara akuntansi, namun karena penggabungan bisnis yang begitu popular di erofa memaksa akuntansi turut berkembang untuk memenuhi kebutuhan dari mereka yang berkepentingan.
10.  Tahap pembangunan Ekonomi Negara yang masih mengandalkan ekonomi pertanian membutuhkan prinsip-prinsip akuntansi yang berbeda dengan negara industri maju. Di negara pertanian, tingkat ketergantungan pada kredit dan kontrak bisnis jangka panjang mungkin masih kecil. Sehingga akuntansi akrual yang canggih tidak berguna dan yang dibutuhkan adalah akuntansi kas sederhana.
11.  Pola pertumbuhan Ekonomi
Kondisi perekonomian yang stabil mendorong peningkatan persaingan memperebutkan pasar-pasar yang ada sehingga memerlukan suatu pola akuntansi yang stabil dan akan jauh berbeda pada negara yang kondisinya sedang mengalami perang berkepanjangan.
12.  Status Pendidikan dan Organisasi Profesional
Karena ketiadaan profesionalisme akuntansi yang terorganisir dan sumber
otoritas akuntansi local suatu negara, standar-standar dari area lain atau negara lain mungkin digunakan untuk mengisi kekosongan tersebut. Adaptasi faktorfaktor akuntansi dari Inggris merupakan pengaruh lingkungan yang signifikan dalam akuntansi dunia sampai akhir PD II. Sejak saat itu, proses adaptasi internasional beralih ke sumber-sumber dari AS. Pengembangan akuntansi, baik yang berasal dari negara itu sendiri atau yang diadaptasi dari negara-negara lain, tidak akan sukses kecuali jika kondisi-kondisi lingkungan seperti yang terdapat dalam daftar diatas dipertimbangkan secara penuh.

SUMBER :